MATERI 1
STABILITAS EKONOMI NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki ekonomi
berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah
memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok,
termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang
dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor
swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan
melalui proses penstrukturan hutang.
Para pengusaha pribumi sangat te§ Para
pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif. § Para
pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam
kerangka sistem ekonomi liberal. § Para
pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan
Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih
kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program
ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban
keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena : § Para
pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan
kredit. § Para pengusaha Indonesia yang
bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
ekonomi nasional. § Menumbuhkan kelas pengusaha
dikalangan bangsa Indonesia. § Sistem Ekonomi Gerakan Benteng Sistem
ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet
Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan).
Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur
ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah: § Gunting
Syafruddin Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya
memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal
setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin
Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal
20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya
untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar. Dampaknya rakyat
kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari
pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta. § Demokrasi
Terpimpin, Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan
baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk
memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut. § Pada tanggal
19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas
untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun).
Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan
rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
1. Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul 2. Pencegahan penyembelihan hewan
pertanian 3. Penanaman kembali tanah kosong 4. Pemindahan penduduk
(transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15
tahun. § Rekonstruksi dan Rasionalisasi
Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif. § Pembentukan Planning Board (Badan
Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 § Konferensi
ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan. § Upaya menembus blokade dengan
diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan
tujuan ke Singapura dan Malaysia. § Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. § Tanah
pertanian rusak 1. Tenaga kerja dijadikan romusha 2. Tanah pertanian ditanami
tanaman keras Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
ekonomi, antara lain : § Eksploitasi besar-besaran di masa
penjajahan. § Kas negara kosong. § Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negri RI. Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945
ini, menutup pintu keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah
Belanda melakukan blokade ini adalah: 1. Untuk mencegah dimasukkannya senjata
dan peralatan militer ke Indonesia; 2. Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil
perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya; 3. Melindungi bangsa
Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia. Ø Inflasi yang
sangat tinggi Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara
tidak terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di
masyarakat sebesar 4 milyar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja,
diperkirakan sebesar 1,6 milyar. Jumlah itu kemudian bertambah ketika pasukan
Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai
bank-bank. Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3
milyar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling
menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada zaman
pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan mata-uang
Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga
mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata
uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang
dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit
bangsa Indonesia, tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI yang baru, Letnan
Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang
yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir
memproses tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah
melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada
penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal
yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia
(ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam
pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara
Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan
Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono
Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan
valuta asing.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Keadaan ekonomi keuangan pada
masa awal kemerdekaan
Pada masa awal
kemerdekaan,keaadaan ekonomi bangsa Indonesia sangat buruk,dikarenakan
oleh: Orde Baru Selama lebih dari 30
tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari
GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan
moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil
dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak
dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing. Pada pertengahan
1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.
Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan
dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor
non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan
banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama
yang berkembang. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997
menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal
sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak,
mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat
sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan
perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan
non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan
ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan
ekonomi. Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997
dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama
Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik
untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan
memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International
Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang
diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan
ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan
monopoli, yang melibatkan anggota§ Timbul
pemberontakan PRRI/Permesta. Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas
pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian
Barat mencapai konfrontasi bersenjata. § Terjadi
ketegangan politik yang tak dapat diredakan. § Adanya
kesulitan dalam menentukan skala prioritas. § Musyawarah
Nasional Pembangunan Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara
pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan
Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk
mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang
menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut
tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena: § Adanya
ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakan ekonominya masing-masing. § Perjuangan
pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. § Adanya
depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan
awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. § Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat
singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan
ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya
pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program
jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan
membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda
diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran
dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah. RPLT tidak dapat berjalan
dengan baik disebabkan karena : § Hubungan
Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak. Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau
menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13
Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan
ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden
Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum
mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut. § Hubungan
Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral. § Persetujuan
Finek hasil KMB dibubarkan. § Persaingan Finansial Ekonomi
(Finek) Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk
merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak
Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari
1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi: § Pengusaha
pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas. § Indonesia
menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas. § Pengusaha
pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman
dalam memperoleh bantuan kredit. § Memajukan
ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non
pribumi. Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan
sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan
Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan
tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki
jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha
swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan
baik sebab: § Pertumbuhan dan perkembangan
pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional. § Agar para pengusaha pribumi
bekerjasama memajukan ekonomi nasional. § Untuk
memajukan pengusaha pribumi. § Sistem Ekonomi Ali-Baba Sistem
ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian
kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah: §
Nasionalisasi De Javasche Bank Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada
akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian
kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat
pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah
untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan
penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada
tanggal15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951. § Para
pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari
kredit yang mereka peroleh. Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu
sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3
Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7
miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan
kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi
lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang
dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor. § Para
pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup
mewah. § Para pengusaha kurang mandiri
untuk mengembangkan usahanya. §rgantung pada pemerintah. Kajian Pengeluaran Publik Saat ini, satu
dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi
dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi
yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah.
Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui
"perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih
dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke
pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun
2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi
minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas
makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik
bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi
lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi
minyak. Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran
bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar
telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh
pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran
utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah
mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan.
Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun
1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang
besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan
keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai
hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar
biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan,
dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun
mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah.
Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih
sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen
dari anggaran total. Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus
2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun
2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia
sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan
tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini
tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki
pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal
tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk
mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator
sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi
berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan
publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu,
alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana
tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja
publik di Indonesia kedepannya. Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan
telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi
tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB
pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001
- sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB
Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari
titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB Satu
bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk
administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006
menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik. 2.2 Era
Bank-bank Bangkrut INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk.
Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka
benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki.
Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari
semua prahara perbankan itu. Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang
dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi
bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian,
jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang
menjadi kronis. Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter
yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan
dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong.
Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi
pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang
terus bertambah. Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit
yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi
negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank
kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi. Resesi ekonomi telah
mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik
bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan
tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit
yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet. Tambahan pula,
sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik
bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang
tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de
facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui
Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram
oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Akan tetapi pengambilalihan
Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan
masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong
mayoritas kesulitan perbankan. Namun pemerintah pun kini bagai tunggang
langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri
perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang
mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset)
dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset. Pemerintah memang
merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada
Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan teta§ Pasca
Suharto Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman
dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai
presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut. Pada 2010
Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin
Rp 6300 Trilyun meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980.
Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh
paling cepat diantara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun oleh
IMF dalam juta rupiah. Tahun PDB 1980 60,143.191 1985 112,969.792 1990
233,013.290 1995 502,249.558 2000 1,389,769.700 2005 2,678,664.096 2010
6,422,918.230 §keluarga Presiden Soeharto. Rupiah
masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya
Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. pi angka itu dianggap
terlalu moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai
kurang lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga
bukan hal mudah untuk dipenuhi. ** SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya,
kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak
bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas
perbankan. Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi.
Ambil contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian
BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun. Sampai akhirnya
setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat
tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take
over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan
pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi
kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan. Maka itu, jangan heran jika
masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat
secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang
tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas,
sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang
merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional. Kebijakan
yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah
yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan
pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu
bertarung di pasar global. *** DI tengah kebingungan itu, kita bertanya.
Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya
besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan
beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau
campuran, atau bank-bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan
dananya. Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam
bilangan jari tangan. Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat
ini tak ada yang bisa memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik
maupun dunia internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat
endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan
sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan perbankan. Namun yang jelas,
likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari
reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir.
Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang
mereka nantikan. Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya
korelasi, tetapi untuk menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak
diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini,
peran aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga
perbankan satu negara. Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi
portofolio-berbentuk saham obligasi atau produk di pasar uang lainnya. Aliran
modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct investment
(aliran investasi asing langsung). Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk
Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia, tidak bisa segera
membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan
Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya
kembali arus modal masuk itu. Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi
kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk masuk ke Indonesia.
Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu,
ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas. LAPORAN
AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular ,RUPIAH pun
tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian.
Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat seperti
ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000
per dollar AS pada 17 Juni 1998?Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai
Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan
bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah. Rupiah masih sekitar Rp
11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi
sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14
Mei di Jakarta. Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang
sepertinya tidak habis-habisnya setelah mundurnya Soeharto. Pukulan
bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya, setelah mata uang yen Jepang
mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas
mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.Kondisi ekonomi
yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku
bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan
termasuk yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu
akhirnya mencapai titik terendah 254 poin. Menjelang tutup tahun 1998, indeks
saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin. Tingkat suku bunga yang
mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada
valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami rupiah
yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus bertengger pada
level Rp 7.000 sampai Rp 8.000.MENGIKUTI perjalanan kurs rupiah dan indeks saham
selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan lembah dan ngarai yang
terjal. "Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo
Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni
lalu.Pasar memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi
negatif ini semakin diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs
yen. Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000
per dollar AS. Tidak terlalu "buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan
saat ini yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi
dalam negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung rupiah agar
tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus
1997 dan menutup 16 bank swasta bulan November.Manuver-manuver politik semakin
memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian Indonesia. Kehadiran calon
wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan bahwa
Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah yang
juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana Moneter
Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan. Hal serupa juga terlihat pada
harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung melampaui 700 poin pada
bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada
bulan Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatangananletter of intent
pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi
positif pada membaiknya perekonomian.Kurs rupiah segera kembali menguat hingga
di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp 8.000 per dollar AS pada
bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut membantu. Revisi atas RAPBN
1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan pemerintahan selama
ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan menghadapi krisis.Di bursa
saham, harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500
poin pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu,
para investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika
itu sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif
krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik
hilangnya habitat alam baik hayati atau hewani 2.4.Menjaga Stabilitas
Ekonomi Nasional Voting di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
menghasilkan keputusan menerima tambahan Pasal 7 Ayat 6A APBN-Perubahan 2012.
Klausul tambahan ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menaikkan atau
menurunkan harga BBM jika harga minyak mentah mengalami naik atau turun
rata-rata 15 persen dalam jangka waktu enam bulan terakhir. Menanggapi
keputusan itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyiapkan beberapa langkah
ekonomi. “Pemerintah akan mengikuti harga minyak mentah dunia,” kata SBY, Sabtu
malam, 30 Maret 2012. Jika harga terus naik, akan berdampak juga dengan harga
BBM dalam negeri. Tetapi SBY berjanji akan menyalurkan bantuan sosial secara
tepat kepada masyarakat miskin. SBY juga akan menggenjot pendapatan negara,
terutama pada dua sektor yakni pajak dan pertambangan. Selain itu pemerintah
akan melakukan penghematan energi dengan mengoptimalkan energi alternatif.
“Pengalihan dari BBM ke BBG bisa dipercepat,” tutur SBY. Ia juga akan melakukan
penghematan anggaran belanja baik kementerian ataupun setingkat daerah.SBY dan
jajarannya berusaha meningkatkan ekspor ke luar dan investasi dalam negeri.
Pemerintah akan menjaga tingkat konsumsi masyarakat dengan memberikan bantuan
langsung. SBY berharap ekonomi nasional tetap stabil, sehingga tidak perlu
menambah utang baru. Selain di bidang ekonomi, SBY akan menjaga stabilitas
keamanan dan ketertiban sosial politik di Indonesia. SBY mengimbau semua
jajarannya termasuk kepala daerah untuk sekuat tenaga sesuai dengan APBN-P
2012. “Kepala daerah bertanggung jawab menjaga politik dan keamanan nasional,”
tutur SBY. Menurut SBY, keamanan nasional berdampak pada perekonomian. Ia
memberi contoh TNI/Polri yang mampu menjaga ketertiban selama kegaduhan terkait
dengan isu kenaikan harga BBM.
BAB III KESIMPULAN
Sejak krisis keuangan Asia di
akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan
Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis
keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan
yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi
meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.§
Industrialisasi mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian. § Adanya
pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik mengakibatkan adanya
kerusakan lingkungan hidup. § Pembangunan ekonomi menuntut
peningkatan kualitas SDM sehingga dalam hal ini, dimungkinkan ilmu pengetahuan
dan teknologi akan berkembang dengan pesat. Dengan demikian, akan makin
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak Negatif Pembangunan Ekonomi § Melalui
pembangunan ekonomi dimungkinkan adanya perubahan struktur perekonomian dari
struktur ekonomi agraris menjadi struktur ekonomi industri, sehingga kegiatan
ekonomi yang dilaksanakan oleh negara akan semakin beragam dan dinamis. § Terciptanya
lapangan pekerjaan akibat adanya pembangunan ekonomi secara langsung bisa
memperbaiki tingkat pendapatan nasional. § Adanya
pembangunan ekonomi dimungkinkan terciptanya lapangan pekerjaan yang dibutuhkan
oleh masyarakat, dengan demikian akan mengurangi pengangguran. § Melalui
pembangunan ekonomi, pelaksanaan kegiatan perekonomian akan berjalan lebih
lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan ekonomi. § Setiap input
selain menghasilkan output yang lebih banyak juga terjadi perubahan – perubahan
kelembagaan dan pengetahuan teknik. Dampak Positif Pembangunan Ekonomi § Pembangunan
ekonomi selalu dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi. § Meningkatkan
taraf hidup masyarakat. § Memperhatikan pertambahan
penduduk. § Memperhatikan pemerataan
pendapatan termasuk pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. § Merupakan
proses perubahan yang terus menerus menuju perbaikan termasuk usaha
meningkatkan produk per kapita. § Setiap input
dapat menghasilkan output yang lebih banyak Pembangunan ekonomi § Pertumbuhan
ekonomi belum tentu disertai dengan pembangunan ekonomi § Belum tentu
dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. § Tidak memperhatikan
pertambahan penduduk § Tidak memperhatikan pemerataan
pendapatan. § Merupakan proses naiknya produk
per kapita dalam jangka panjang. §SEBAGAIMANA
dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia ternyata sudah melebar
menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis juga mulai masuk ke politik
yang selama ini praktis menjadi "kawasan tabu". Akibatnya,
kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara perlahan namun pasti, mulai
pupus. Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di
luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri mendesak para
penerima pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya. Waktu itu,
diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang jangka pendek pihak swasta
Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin
bertubi-tubi.Pasar valas maupun bursa saham seperti telah patah arang terhadap
pemerintah RI. Seperti telah diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus
anjlok hingga mendekati Rp 17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000).
Indeks harga saham juga mulai menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400
poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.Sejak Juni dan
Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai
membaik. Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan
bagi penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di
Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana bantuannya. Sejumlah negara
sahabat juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program ekonomi
Indonesia.Sayangnya, langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa saham.
Harga-harga saham terus berjatuhan. Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah
senilai harga permen. Harga rokok ataupun air mineral jauh di atas harga per
lembar saham. Indeks saham pun terus turun hingga bulan September mencapai
titik terendah 254 poin.Pertanyaannya, apakah kurs rupiah dan indeks saham ini
masih akan stabil pada tingkat ini saat memasuki tahun 1999? Penghujung tahun
1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan,
persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus mulai diselesaikan
dari diri sendiri.Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa
menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik yang di dalam negeri.
Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah menimbulkan
kebingungan dan ketidakjelasan.* 2.3. Pertumbuhan ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar